Pemimpin merupakan ujung
tombak dan motor penggerak bagi keberlangsungan komunitas masyarakat baik dalam
lingkup yang luas seperti negara hingga lingkup yang terkecil seperti keluarga.
Bahkan karena posisinya yang sangat menentukan berkembang nasihat “jadilah
pemimpin untuk diri sendiri”. Tercapai atau tidaknya suatu tujuan komunitas
akan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh tindakan-tindakan pemimpin. Karenanya
tidak keliru jika seorang pemimpin harus memiliki kriteria tertentu yang
mewakili kapasitas dan kapabilitas yang lebih unggul dari komunitas yang
dipimpinnya. Bahkan dalam konteks yang lebih esensial, pemimpin harus memiliki
karakter pribadi yang kuat, berintegritas, berpegang teguh pada nilai-nilai
moral yang baik dan yang paling penting memiliki kemampuan untuk “mengayomi”
bagi komunitas yang dipimpinnya. Hal demikian merupakan keharusan bagi seorang
pemimpin yang berposisi sebagai chief activator bagi kelompoknya.
Sumber gambar : http://thefilosofi.blogspot.com |
Melihat posisi dan kedudukan pemimpin yang amat menentukan, seorang pemimpin selayaknya harus memiliki, memahami dan mampu mempraktikkan dasar-dasar dan nilai-nilai kepemimpinan, baik itu yang digali dari pemahaman individual seorang pemimpin maupun yang diadopsi dan ditafsirkan dari dasar-dasar kepemimpinan umum yang telah dipraktikan di berbagai lintas generasi. Pemahaman akan dasar-dasar dan nilai-nilai kepemimpinan sangat penting agar pelaksanaan kepemimpinan itu memiliki roh, martabat dan wibawa sehingga tidak mudah untuk digoyah dan dipecah belahkan.
Kepemimpinan memiliki makna yang luas, bahkan setiap orang atau pemimpin memiliki tafsirannya sendiri perihal kepemimpinan. Akan tetapi dalam berbagai macam tafsirannya, kepemimpinan tetap memiliki arti dasar yakni proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam pelaksanaan proses itulah penerapan akan dasar-dasar dan nilai-nilai kepemimpinan berlangsung. Perlu diingat, bahwa dasar-dasar dan nilai-nilai kepemimpinan tidaklah lahir dari ruang hampa (tanpa asbabun-nuzul), ia memiliki kaitan erat dengan eksistensi kebudayaan dan peradaban, sehingga tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek historis dan sosiologisnya bahkan nilai-nilai filosofis sekaligus. Nilai kepemimpinan orang barat akan berbeda dengan orang timur, begitu juga dengan organisasi yang satu dengan yang lainnya.
Salah satu kelompok masyarakat yang banyak memiliki riwayat penggalian dan pewarisan prinsip serta nilai-nilai kehidupan (termasuk kepemimpinan) luhur adalah masyarakat Jawa. Kebudayaan Jawa telah melahirkan konsep dan nilai-nilai kepemimpinan yang khas, yang lahir dari proses interaksi kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa atau melalui proses pembudayaan. nilai-nilai tersebut kemudian disarikan dan dirumuskan ke dalam prinsip-prinsip yang terangkum secara jelas dan menyeluruh oleh para pemimpin, penyair, spiritualis, agamawan dan tokoh-tokoh masyarakat Jawa. Prinsip-prinsip kepemimpinan yang telah tersarikan itu sejatinya masih relevan untuk diterapkan pada masa sekarang, bahkan dalam kondisi dimana proses akulturasi berlangsung dengan cepat dan terbuka, permasalahan berkembang semakin kompleks dalam kehidupan dewasa ini, nilai-nilai seperti kesabaran, mawas diri, ketenangan, pengabdian yang telah diajarkan oleh leluhur Jawa dapat menjadi pedoman praktis untuk menghadapi berbagai permasalahan. Terkhusus untuk tetap merawat keberlangsungan suatu komunitas masyarakat dengan tanpa meninggalkan jati diri yang dimilikinya.
Dalam tulisan ini, diambil tiga contoh tokoh pemimpin dan pejuang besar dari kalangan masyarakat Jawa yang nilai-nilai kepemimpinannya masih dibawa dan diamalkan oleh generasi saat ini dalam berbagai bidang kehidupan. Tak jarang mereka sering kali di dengungkan pada acara-acara seremonial untuk membangun kembali semangat dan kesadaran identitas. Butir-butir filsafat kepemimpinan yang digagas oleh ketiga tokoh ini masih sangat relevan untuk diterapkan. Mengingat bahwa pada kenyataannya sebagian besar pemimpin baik itu dalam konteks negara maupun diluar itu (read: organisasi) semakin menunjukkan tindakan-tindakan pragmatis yang lepas dari kontrol nilai dan tanggung jawab jabatan. Jual beli jabatan, transaksi di belakang layar, pembodohan, hingga korupsi yang semuanya menunjukan indikasi degradasi moral merupakan implikasi dari lepasnya nilai-nilai luhur kehidupan yang diwariskan para leluhur dari setiap pribadi individu.
Berikut butir-butir filsafat kepemimpinan yang telah diwariskan oleh pemimpin dan leluhur Jawa diantaranya Mahapatih Gajah Mada, Ki Hadjar Dewantara, Sri Sultan Hamengkubuwana IX, dan KGPAA Mangkunegara I yang telah penulis rangkum.
1. Mahapatih Gajah Mada
Nama Gajah Mada mulai muncul saat pemerintahan Jayanagara (Raja Majapahit II). Gajah Mada mulai menjabat sebagai mahapatih di Majapahit semasa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350) hingga pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389).
Sebagai salah satu tokoh yang mengikrarkan Sumpah Palapa dalam rangka mempersatukan wilayah-wilayah Nusantara dengan pusat pemerintahan Majapahit, Mahapatih Gajah Mada dikenal sebagai seorang penggagas filsafat kepemimpinan Tri Dharma yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu sebagai berikut:
Dimensi spiritual
Dalam dimensi spiritual, seorang pemimpin harus memiliki 3 prinsip utama, yaitu sebagai berikut.
- Wijaya (tenang, sabar, dan bijaksana).
- Masihi samasta buwana (mencintai alam semsesta).
- Prasaja (hidup dan bersikap sederhana).
Dimensi moral
Dalam dimensi moral, seorang pemimpin harus memiliki 6 prinsip utama, yaitu sebagai berikut.
- Mantriwira (berani membela dan menegakkan kebenaran serta keadilan).
- Sarjawa upasama (memiliki sikap rendah hati).
- Tan sutrisna (tidak pilih kasih).
- Sumantri (sikap tegas, jujur, bersih dan berwibawa).
- Sih samasta buwana (mencintai seluruh rakyat).
- Nagara gineng pratijna (mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga).
Dimensi manajerial
Dalam dimensi manajerial, seorang pemimpin harus memiliki 9 prinsip utama, yaitu sebagai berikut.
- Natangguan (mendapat dan menjaga kepercayaan masyarakat).
- Satya bhakti prabu (setia kepada nusa dan bangsa).
- Wagmiwag (pandai bicara dan sopan).
- Wicaksaneng naya (pandai dalam berdiplomasi, strategi, dan siasat).
- Dhirotsaha (tekun bekerja dan mengabdi pada kepentingan umum).
- Dibyacitta (lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain).
- Nayaken musuh (menguasai musuh dari dalam dan luar).
- Ambek pramartha (pandai menentukan prioritas utama).
- Waspada purwartha (waspada dan introspeksi untuk melakukan perabaikan).
Ketiga dimensi tersebut merupakan satu kesatuan, dalam arti dimensi yang satu melengkapai dan bergantung pada dimensi yang lain.
2. Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soeryaningrat lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dan meninggal pada 28 April 1959 yang dikenal sebagai wartawan Sedyatama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, serta Tjahaja Timoer dan Poesaral. Pendiri National Onderwijs Institute Tamansiswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Dan pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran Kabinet Presidensial dari 19 Agustus 1945 hingga 14 November 1945.
Sebagai tokoh dan pahlawan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai penggagas semboyan filsafat kepemimpinan “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Adapun penjabaran makna dari semboyan atau filsafat kepemimpinan ini adalah sebagai berikut.
Ing ngarsa sung tuladha
Kalimat ini mengandung makna bahwa seorang pemimpin yang baik adalah yang selalu tampil di depan untuk memberikan teladan kepada seluruh anggota yang dipimpinnya. Oleh karena itu seorang pemimpin yang melakukan korupsi dan segala tindakan tidak terpuji dapat dipastikan akan kehilangan kepercayaan. Kewibawaannya sebagai seorang pemimpin akan hancur. Yang paling berbahaya adalah ketika tindakan tidak layak dari pemimpin akan membentuk persepsi baru bagi anggotanya dan melunturkan nilai-nilai kebajikan dan terwariskan pada generasi berikutnya.
Ing madya mangun karsa
Ing madya mangun karsa membawa arti bahwa seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah anggota yang dipimpinnya untuk memberikan semangat dan motivasi agar hidup menjadi lebih sejahtera atau tujuan kolektif akan terwujud melalui perjuangan bersama. Karenanya pemimpin harus mampu memberi inspirasi kepada anggotanya agar dapat bekerja lebih giat, serta mengawal proses perjuangan mencapai cita-cita bersama.
Tut wuri handayani
Frasa ini bermakna bahwa seorang pemimpin harus dapat bersedia menerima dan mendorong tercapainya tujuan bersama yang telah disepakati. Jika terjadi kendala dalam proses pencapaiannya, seorang pemimpin harus dapat mencarikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Dalam hal ini konsistensi dan ketajaman pikiran sangat dibutuhkan dalam menjamin tercapainya tujuan dan pemecahan masalah secara tepat.
3. Sri Sultan Hamengkubuwana IX
Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah raja Kesultanan Ngayogyakarta yang memerintah pada tahun 1940-1988. Selama menjabat sebagai ultan, BRM Darajatun berbekal pada filsafat kepemimpinan “hamengku, hamangku, hamangkoni”. Hamengku yang berarti bahwa seorang pemimpin harus melindungi seluruh rakyatnya/anggotanya secara adil tanpa membeda-bedakan golongan, keyakinan, dan agama. Hamangku berarti bahwa seorang pemimpin harus berkewajiban membesarkan hati kepada seluruh rakyat/anggota untuk lebih banyak memberi daripada menerima (pengabdian). Sedangkan hamengkoni bermakna bahwa seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan bagi seluruh rakyta/anggotanya dan berdiri di depan untuk memikul tanggung jawab dengan segala resikonya.
4. KGPAA Mangkunegara I
KGPAA Mangkunegara I adalah raja pertama di Praja Mangkunegara pada 1757-1795. Semasa melakukan perjuangan, KGPAA Mangkunegara I mengajarkan filsafat kepemimpinannya di dalam membangkitkan spirit perjuangan kepada seluruh pengikutnya. Filsafat kepemimpinan Mangkunegara I yang kemudian diterapkan oleh Soeharto di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin negara(Presiden) RI ke-2 tersebut, antara lain sebagai berikut.
Rumangsa melu handarbeni
Filsafat ini mengajarkan kepada seluruh pengikut Mangkunegara I untuk merasa memiliki atas tanah tumpah darahnya. Hanya dengan rasa memiliki, rakyat akan dengan suka rela melakukan perjuangan di dalam mempertahankan tanah airnya hingga titik darah penghabisan. Rasa memiliki dapat berasal dari perasaan emosional dan perenungan akan masa-masa yang telah lalu berkaitan dengan apa yang sudah didapat dari tanah airnya atas kehidupannya selama ini.
Melu hangrungkebi
Filsafat ini mengajarkan kepada seluruh pengikut Mangkunegara I agar turut berjuang di dalam merebut tanah tumpah darahnya kembali dari tangan musuh yang berusaha untuk menguasainya. Dalam konteks saat ini maka rakyat harus berjuang dengan kapasitas dan keahlian yang dimilikinya masing-masing dengan berlandaskan pada kesetiaan. Persaingan dalam perdagangan global, ideologi, teknologi dan ilmu pengetahuan dapat menjadi bentuk-bentuk perang baru yang sesungguhnya dapat menyebabkan kerugian material dan non-material begitu luas jika tidak ditanggapi dengan responsif. Maka dalam hal ini peningkatan sumber daya manusia sungguh akan sangat dibutuhkan.
Mulat sarira hangrasa wani
Filsafat ini mengajarkan kepada seluruh pengikut Mangkunegara I agar berani untuk melakukan refleksi diri. Karena hanya dengan cara demikian, setiap rakyat akan mengetahui haknya sebagai pemilik tanah air serta memahami tugas dan kewajibannya sebagai pelindung tanah air jika sedang dalam ancaman pihak lain. Semakin tinggi tingkat refleksi, semakin tinggi pula pemahaman akan kedudukan dan peranan dalam pembelaan tanah airnya.
Itulah diantara filsafat kepemimpinan yang dikenal dalam kebudayaan Jawa. yang dapat diterapkan dalam konsep kepemimpinan di manapun, di dalam negara, dan di dalam institusi serta organisasi apapun. Sesungguhnya, masih terdapat banyak nilai-nilai luhur yang bernuansa filsafati dari masyarakat Jawa yang tidak akan cukup diuraikan dalam tulisan singkat ini. Namun yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana nilai-nilai luhur tersebut dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan secara konsisten agar kualitas kepemimpinan dapat bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Kepemimpinan adalah tentang kedawasaan untuk memberi bukan egoisme untuk mendapatkan sesuatu. Sebagaimana Sheri L. Dew mengatakan “true leaders understand that leadership is not abaut them but about those they serve. It is not exalting themselves but about lifting others up” para pemimpin sejati memahami bahwa kepemimpinan bukanlah tentang mereka tetapi tentang mereka yang dilayani. Ini bukan tentang meninggikan diri mereka sendiri tetapi tentang mengangkat orang lain.
Penulis : M. Rifai Yusuf
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon