Menjemput Ilmu di Turki

Belajar merupakan tanggung jawab, belajar adalah sebuah proses tanpa henti yang tidak dibatasi oleh tempat dan gelar tertinggi
“tuntutlah ilmu sampai ke liang lahat”. Demikianlah kiranya peribahasa yang tidak asing lagi ditelinga kita, terkhusus bagi para pegiat ilmu. Peribahasa yang maknanya sungguh lebih luas dari apa yang tersurat. Ahmad Munji, atau akrab di sapa Munji adalah salah satu diantara orang-orang yang menghargai dan menempatkan ilmu pada posisi yang khusus dalam kehidupannya. Menurutnya hidup adalah untuk belajar. Paradigma itulah yang telah membawa ia memperoleh kesempatan menempuh studi program Doktor (S3) di Marmara University, Istanbul Turki.
Rekam jejak pendidikan pria kelahiran Pemalang, 12 Oktober 1989 ini cukup panjang, ia adalah seorang santri jebolan Al-Hikmah 2 Benda Brebes, yang kemudian melanjutkan pendidikan Strata Stu (S1) di UIN Walisongo Semarang (dulu IAIN Walisongo) dengan beasiswa Kementerian Agama pada fakultas Ushuluddin tahun 2009 dengan mengambil bidang Tasawuf dan Psikoterapi. Setelah meraih pencapaian sebagai wisudawan terbaik pada 2013 ia mendapatkan beasiswa Program Magister (S2) dan melanjutkan di tempat yang sama pada bidang yang sama. Pasca kelulusannya pada tingkat pasca sarjana ia kemudian sempat mengajar di beberapa perguruan tinggi di Semarang.
Banyak aktivitas yang dilakukan selama menempuh pendidikan S1-nya. Ia tercetat pernah aktif di beberapa organisasi seperti Organisasi Daerah IMPP UIN Walisongo, PMII Rayon Ushuluddin sebagai koordinator bidang sosial dan politik, PMII Komisariat sebagai anggota bidang wacana dan penerbitan, Ketua Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) dan pernah pula menjabat sebagai Ketua Komisi Pemilihan Mahasiswa.
Pada dasarnya Munji tidak pernah berkeinginan kuat untuk dapat berkuliah di luar negeri, terkhusus di tempat ia sekarang menempuh studi Doktornya. Baginya yang terpenting adalah belajar “dimanapun tempatnya”. Keputusannya hijrah ke Turki ia ambil secara spontan menyusul dibukanya pendaftaran beasiswa pemerintah Turki. ia juga tidak menargetkan harus lolos dalam beasiswa tersebut. Setelah dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa pemerintah Turki ia berangkat dan memulai studinya tersebut pada pertengahan 2016 lalu.
Sebagai mahasiswa asing, Munji harus menyesuaikan diri dengan kondisi sosial dan iklim sekitar, ia mengaku merasa kaget saat pertama kedatangannya disana, meski sekarang ia merasa sudah dapat menyesuaikan diri dengan baik. Sebagai mahasiswa pendatang, ia juga sempat mengalami berbagai kesulitan, Salah satu yang menjadi kesulitan adalah bahasa. Meski telah mendapatkan pelatihan bahasa selama kurang lebih satu tahun, menurutnya ini belum mampu mencover seluruh kebutuhan studinya di sana.
“sebelum menjalani studi, kami (mahasiswa asing) biasanya terlebih dahulu harus menjalani pelatihan bahasa sebagai bekal selama studi, namun ini tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan saya selama disini. Pelatihan bahasa yang kami terima masih sangat dasar, sedangkan selama perkuliahan tingkat bahasa yang digunakan sudah lebih tinggi dan kompleks, butuh pemahaman lebih dari itu” demikian kira-kira ujarnya. Tetapi Munji merasa beruntung karena ia memiliki latar belakang yang sedikit banyak dapat membantu, yakni latar belakang bahasa inggris dan bahasa arabnya, menurutnya ada beberapa kata-kata dalam bahasa turki yang mirip dengan bahsa arab (kata serapan). Selain itu ia mengaku terbantu karena beberapa yang ia pelajari selama menempuh S3 di sana telah ia pelajari sebelumnya saat menempuh pendidikan di Semarang. 
Banyak kiranya kejadian yang telah dilalui Munji selama di Turki. Salah satunya adalah pengalaman lucu yang ia alami saat awal-awal ia menjalani studinya. Kala itu ia hendak berangkat ke kampus dengan memasukkan ke dalam tasnya buku-buku ditambah air minum dalam botol. Tanpa disadari ternyata air yang ia bawa tumpah di dalam tas, ia baru menyadari setelah membuka tasnya di dalam kelas dan mendapati buku-bukunya telah basah. Ia kemudian menjemurnya di bagian luar kelas untuk beberapa saat dengan harapan dapat digunakan kembali setelah kering. Namun setelah ia mengecek kembali, ia tidak mendapati bukunya lagi. “ini mungkin berbeda kalau di indondesia ya, orang biasanya akan menanyakan terlebih dulu barang milik siapa, tapi disisni tidak” demikian ujarnya.
Selain menjalani studi, ia juga aktif dalam organisasi. Saat ini, ia aktif di PCINU Turki dan sempat menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah beberapa tahun sebelum sekarang ia berada di Rois Suriyah. Baginya sebagai warga Nahdliyin, dimanapun berada ia harus menjaga tradisi dan nilai-nilai yang telah ada, termasuk di dalamnya adalah dalam hal dakwah. Ia merasa beruntung karena diantara berbagai perbedaan antara Turki dan Indonesia, ada satu titik temu diantara keduanya, yakni dalam hal keagamaan (Islam). Ia menyampaikan “selain sebagai negara yang juga mayoritas penduduknya adalah muslim, ada titik temu atau kesamaan antara Turki dengan Indonesia, dalam hal tradisi keagamaan misalnya. Disini juga mengenal tradisi seperti Maulid, Ziarah, dan Nisfu Sya’ban”. Menurutnya keadaan demikian memberi suasana yang mendukung bagi kegiatan warga Nahdliyin khususnya dan umat Islam pada umumnya di sana.
Selain sibuk dengan kegiatan studi dan organisasi, Munji juga aktif sebagai penulis. Tulisan-tulisannya telah banyak dimuat di beberapa media online, baik yang fokus pada informasi keislaman maupun umum. ia juga telah menyelesaikan bukunya yang berjudul “Sufi dan Ottoman: Islam, Tradisi, dan Relasi Kuasa”. Kini ia tengah menyelesaikan projek buku berikutnya. Mungkin baginya ini merupakan kegaitan dakwah untuk menularkan pengetahuan yang telah ia peroleh. 
Berbagai kegiatan produktif yang ia lakukan tidak terlepas dari nilai-nilai “kesantriannya” yang terus ia bawa hingga sekarang. ia menyebut ada tiga sifat atau nilai yang harus ada pada diri seorang santri, yakni santri harus mengaji, mengajar  dan memberdayakan manusia. Penjelasannya secara berurutan adalah pertama bahwa belajar adalah sebuah proses tanpa henti. Selama kita masih hidup maka kita harus terus belajar, kapanpun dan dimanapun. Kedua, apa yang telah kita dapat dari proses belajar sudah selayaknya harus ditularkan kepada yang lain, hal ini bukan karena dasar  tanggung jawab profesi semata (misalnya sebagai pengajar) tetapi sebagai bagian dari dakwah dan mencerdaskan masyarakat yang harus dilakukan dimanapun, ketiga, yakni memberdayakan masyarakat dengan cara apa saja, salah satunya dengan apa yang telah kita dapatkan.
Ia menggaris bawahi bahwa belajar merupakan tanggung jawab, belajar adalah sebuah proses tanpa henti yang tidak dibatasi oleh tempat dan gelar tertinggi. Ia berharap dapat segera menyelesaikan studinya di Turki dan kembali ke Indonesia.

Penulis : M. Rifai Yusuf
Previous
Next Post »
Thanks for your comment