Circle of Control Sebagai Polemik bagi Mahasiswa

 
Circle of Control Sebagai Polemik bagi Mahasiswa
Oleh : Anggi Maulana Saputra

    Perkembangan generasi millennial dalam suatu lingkup pertemanan memunculkan sebuah prototype baru yang kemudian menjadi sebutan paten dikalangan generasi millenial baik pemuda, mahasiswa dan bahkan pelajar. Semakin beranjak dewasa beberapa segi kehidupan seakan menuntut untuk bergerak dengan cepat hingga mengabaikan hubungan secara emosional yang pada akhirnya seperti ajang kompetisi yang menjadi penyebab seseorang untuk lebih memilih suatu lingkungan pertemanan yang kecil dengan orang-orang pilihan mereka. Sebutan circle menjadi istiah yang popular dalam dunia pertemanan, bergabung dalam suatu kelompok tertentu menambah kepercayaan diri bagi sebagian orang. Dalam dunia perkuliahan orang-orang gemar sekali berkelompok dalam memilih circle, sebuah perkumpulan beberapa individu lebih dari dua orang dan circle ini akan sangat berpengaruh pada sebuah mindset dan habits mereka, karena ; keterbiasaan satu sama lain. Beberapa orang beruntung karena berhasil mendapatkan sebuah circle pertemanan di mana circle tersebut berkembang dengan baik dan di dalamnya berisi sebuah pemikiran-pemikiran serta habits yang positif yang bisa disebut dengan ; positif vibes.

    Sebagai kontradiksi dari lingkaran pertemanan yang menyatukan isi pikiran dari banyaknya kepala sekaligus perbedaan gender juga menjadi pengaruh perdebatan. Sebab beberapa orang pun terjebak di dalam circle yang toxic, yang berisikan di dalamnya orang- orang yang notabene sudah memiliki sifat tocxic, playing victim dan tidak berkembang dimana ia hanya mementingkan diri sendiri daripada orang sekitarnya, ia lebih memilih menghakimi sebab ia tidak mendapatkan pengertian dari sekitar, merasa dirinya adalah pusat dari sebuah circle yang di mana semua omongannya harus di turuti. Toxic circle lebih mementingkan bagaimana ia tetap bersenang-senang dalam circle-nya tanpa memikirkan sebuah pencapaian nilai yang sempurna, ataupun berkembang dalam dunia akademisnya. Mindset orang yang berada dalam circle yang toxic yaitu sebuah pencapaian sahabatnya adalah kebahagiaan serta kutukan dalam satu waktu, dimana ia harus hidup dengan rasa iri yang membuatnya kehilangan semua hal dalam beberapa waktu ke depan.

    Berangkat dari sebuah pengalaman dan pembacaan siatuasi bahwa kebanyakan orang- orang dalam perkuliahan adalah manipulatif yang memakai topeng tebal, ia yang benar-benar pintar dan mampu akan terlihat biasa saja, sedangkan yang lain menilai dan mengurus kehidupan orang lain tanpa berkaca bagaimana diri sendiri, pintar menghakimi dan menspekulasikan dalam otak udangnya tanpa berpikir bagaimana ke depannya. Sehinga tak jarang bagi mereka-mereka untuk memainkan perannya masing-masing, eksistensi dan manipulasi bahkan menjadi hal yang niscaya melekat pada diri tiap orang, kita tidak bisa secara mutlak melihat seseorang itu sebagai apa dan siapa, sebab dalam beberapa situasi terkadang mereka memilih membiarkan semuanya saling menabrak atau ironisnya sengaja ditabrakan. Satu hal yang ingin mereka capai tak lain adalah sebuah value judgement.

    Sebuah diskursus yang menjadi intisari dalam hal ini adalah untuk menerka bagaimana pengaruh sebuah circle yang hidup di dalam suatu organisasi baik circle yang baik maupun toxic circle. Satu kesimpulan selama berkelana dan bergerak dalam banyaknya organisasi bahwa suatu circle sejatinya mampu menjadi kekuatan besar, dimana biasanya orang-orang yang bersirkel ini akan menjadi dominan, sehingga akan sangat mudah mengakomodasi untuk pelaksaan kepentingan organisasi. Namun, bertolakbelakang dengan hal tersebut adalah ketika dalam suatu circle terdapat suatu problem maka akan berdampak juga terhadap keberlangsungan organisasi. Munculnya perbedaan pendapat, dualisme pemikiran yang secara tidak langsung akan merongrong tumbuh kembangnya organisasi, konflik-konflik yang terjadi akan menggerogoti rasa kenyamanan bagi masing-masing orang atau anggota sehingga mereka yang merasa tak kuat akan menghilang satu-persatu, kemudian yang merasa kuat akan bertahan denga segala kondisi yang terkadang terpaksakan. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk menamengi setiap diri adalah pemfokusan pada setiap circle of control yang dimiliki. Jika peribahasa popular mengatakan bahwa dunia adalah panggung sandiwara, maka dapat saya katakana bahwa sejatinya hidup seperti layaknya sebuah teater, kita diberikan satu peran kemudian jika kita tidak menyukai peran itu, maka kita memiliki hak untuk menciptakan ulang peran yang kita inginkan.

    Penyertaan solusi sebagai mitigasi dari hal di atas adalah untuk bagaimana kita bisa menyikapi sebuah problem yang disebabkan dari circle dalam organisasi yang terus muncul dalam permukaan. Setiap kita wajib menamengi diri untuk tidak melakukan suatu hal yang toxic, alih-alih setia terhadap circle yang kalian punya percayalah bahwa sebaik-baiknya rumah pemikiran adalah diri sendiri. Beberapa orang mungin akan menyetujui bahwa tidak memiliki teman atau orang-orang dekat disekitarnya akan menjadi suatu hal yang membosankan, padahal tanpa disadari terkadang circle yang kita miliki pun memiliki circle lagi di dalamnya tanpa ada kita. Suatu yang perlu kita pahami bersama bahwa banyak ataupun sedikit teman bukan menjadi suatu penghalang untuk terus melaksanakan hidup dengan baik. Prinsipnya, setiap kita adalah sahabat terbaik untuk diri kita sendiri.


Previous
Next Post »
Thanks for your comment